Resesi Global: Bagaimana Strategi Ekspor-Import Indonesia?
4 mins read

Resesi Global: Bagaimana Strategi Ekspor-Import Indonesia?

Memasuki pertengahan 2025, bayang-bayang resesi global semakin nyata. Bank Dunia dalam laporan terbarunya memprediksi perlambatan ekonomi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang. Situasi ini tentu berdampak langsung pada negara berkembang seperti Indonesia, terutama melalui jalur perdagangan internasional.

Resesi menyebabkan penurunan permintaan global, membuat volume ekspor dari Indonesia melambat. Sementara di sisi impor, pelemahan nilai tukar rupiah turut menekan biaya logistik dan bahan baku industri. Maka, strategi ekspor-import Indonesia harus cepat beradaptasi agar tetap kompetitif di tengah turbulensi global ini.

Kinerja Ekspor Tertekan, Diversifikasi Pasar Jadi Solusi

Resesi Global: Bagaimana Strategi Ekspor-Import Indonesia? (Foto: Ilustrasi)

Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) per Juni 2025, total ekspor Indonesia menurun 8,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penyebab utamanya adalah penurunan permintaan dari Tiongkok dan Uni Eropa. Produk utama seperti batu bara, kelapa sawit, dan tekstil mengalami kontraksi.

Sebagai respons, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menggencarkan strategi diversifikasi pasar ekspor, terutama ke kawasan Asia Selatan dan Afrika. Negara-negara seperti India, Bangladesh, Mesir, dan Kenya mulai diposisikan sebagai target ekspor baru. Pemerintah juga memperluas pemanfaatan preferensi tarif dalam perjanjian dagang seperti IA-CEPA, RCEP, dan AIFTA untuk membuka akses pasar yang lebih luas.

Baca Juga: Waralaba Kopi dan Makanan Indonesia Laris di Asia Tenggara

Peningkatan Nilai Tambah Produk Ekspor

Pemerintah juga menekankan pentingnya menaikkan nilai tambah produk ekspor. Indonesia selama ini cenderung mengandalkan ekspor bahan mentah, seperti bijih nikel, karet mentah, atau kopi tanpa pengolahan. Dalam situasi resesi, harga komoditas sangat fluktuatif dan berisiko.

Melalui kebijakan hilirisasi industri, pemerintah mendorong pelaku usaha untuk mengekspor produk setengah jadi atau jadi, seperti stainless steel, produk makanan olahan, atau tekstil jadi. Hal ini tidak hanya meningkatkan daya saing di pasar global, tetapi juga menciptakan nilai ekonomi yang lebih tinggi di dalam negeri.

Strategi Impor: Selektif dan Berbasis Industri Prioritas

Di sisi impor, strategi selektif diterapkan agar tidak membebani neraca dagang. Pemerintah memperketat impor barang konsumsi dan barang mewah yang tidak produktif. Sebaliknya, impor bahan baku industri manufaktur dan pangan strategis tetap dipermudah, selama mendukung sektor produksi dalam negeri.

Bank Indonesia (BI) juga menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS agar impor bahan baku tidak terlalu mahal. Dalam laporan BI Juni 2025, nilai tukar relatif stabil di kisaran Rp15.400–15.600 per USD, yang disebut “masih aman” untuk mendukung aktivitas perdagangan luar negeri.

Kolaborasi Pemerintah dan Swasta Jadi Kunci

Situasi resesi global bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Peran pelaku usaha sangat krusial. Asosiasi Eksportir Indonesia (GPEI) menyarankan agar pelaku usaha aktif menjalin kerjasama dengan buyer luar negeri, mengikuti pameran dagang internasional, dan memperkuat sertifikasi produk ekspor.

Di saat bersamaan, pemerintah melalui LPEI (Eximbank Indonesia) menyediakan fasilitas pembiayaan ekspor berbunga ringan dan asuransi perdagangan untuk mengurangi risiko gagal bayar akibat kondisi ekonomi global.

Baca Juga: PPh 22 Marketplace Sudah Berlaku! Banyak UMKM Belum Siap?

Masa Depan Perdagangan: Resiliensi & Inovasi

Strategi ekspor-impor Indonesia menghadapi resesi global tak bisa hanya bergantung pada volume, tetapi harus bertransformasi ke arah resiliensi dan inovasi. Negara yang tangguh dalam perdagangan bukan yang mengekspor terbanyak, tapi yang mampu menyesuaikan arah dan bentuk ekspor sesuai dinamika pasar global.

Dengan dorongan transformasi industri, perluasan pasar non-tradisional, dan kolaborasi antara pemerintah dan dunia usaha, Indonesia berpeluang menjadikan krisis sebagai momentum reorientasi perdagangan yang lebih berkelanjutan dan strategis.

Ekspor-Import Indonesia Butuh Strategi Berbasis Ketahanan & Adaptasi

Dalam menghadapi dampak resesi global, strategi ekspor-import Indonesia tak bisa lagi bersifat reaktif. Diperlukan pendekatan jangka panjang berbasis ketahanan rantai pasok, diversifikasi pasar, dan transformasi digital. Dengan menggabungkan ketiganya, Indonesia dapat mempertahankan posisi sebagai pemain utama perdagangan di kawasan Asia Tenggara, meskipun dunia tengah bergejolak.

Digitalisasi Proses Perdagangan untuk Efisiensi

Selain strategi pasar dan produk, pemerintah juga mendorong digitalisasi ekspor-impor melalui integrasi sistem kepabeanan, logistik, dan perizinan. Sistem INATRADE dan Indonesia National Single Window (INSW) terus dikembangkan agar pelaku usaha bisa mengurus dokumen ekspor-impor secara online, cepat, dan transparan. Langkah ini terbukti memangkas waktu dan biaya logistik, yang selama ini menjadi salah satu penghambat daya saing Indonesia di pasar global.

Bahkan, Kementerian Keuangan menyebut bahwa digitalisasi ini mampu memangkas waktu proses ekspor hingga 30% dan memperkecil potensi pungutan liar. Dengan proses yang semakin efisien, pelaku usaha semakin terdorong untuk aktif menembus pasar luar negeri meski dalam kondisi global yang tidak stabil.

2 thoughts on “Resesi Global: Bagaimana Strategi Ekspor-Import Indonesia?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *