Mengapa Data Washing Berbahaya Bagi Reputasi Brand?
Dalam beberapa tahun terakhir, dunia marketing dipenuhi jargon yang terdengar canggih: data-driven, AI-powered, automated insights, hingga predictive analytics. Namun, di tengah maraknya pemanfaatan data dalam bisnis modern, muncul fenomena baru yang mulai banyak dibicarakan adalah data washing. Istilah ini merujuk pada praktik ketika sebuah brand mengklaim telah menggunakan data untuk mengambil keputusan, padahal sebenarnya data tersebut tidak relevan, tidak valid, atau bahkan tidak ada sama sekali.
Fenomena ini sejalan dengan isu lain yang sedang viral seperti greenwashing di mana perusahaan mengaku ramah lingkungan padahal hanya gimmick pemasaran dan AI washing, ketika perusahaan menyematkan kata “AI” hanya untuk terlihat modern. Data washing menjadi bagian dari tren serupa: tekanan pasar yang membuat brand ingin terlihat canggih, meski faktanya belum memiliki fondasi data yang memadai.
Fenomena Data Washing di Industri Marketing

Kebutuhan brand untuk tampil kompetitif sering membawa mereka pada klaim berlebihan soal penggunaan data. Dalam laporan Deloitte 2024 tentang Data Maturity in Organizations, ditemukan bahwa hanya 21% perusahaan yang benar-benar memiliki sistem data yang terintegrasi dan dapat digunakan untuk pengambilan keputusan strategis. Namun, lebih dari 60% perusahaan di Asia Tenggara mengaku “sudah data-driven”. Ketimpangan ini menunjukkan adanya gap besar antara klaim dan realitas.
Di Indonesia, tren ini juga terlihat jelas. Sejumlah studi dari Katadata Insight Center dan McKinsey Indonesia menunjukkan bahwa banyak UMKM dan brand menengah mengaku melakukan analisis data dalam strategi pemasaran digital, tetapi ketika ditelusuri, data yang digunakan hanya berupa metrik permukaan seperti likes, impressions, atau followers.
Baca Juga: E-Commerce Indonesia Menyentuh USD 94,5 Miliar di 2025: Peluang & Tantangan UMKM Lokal
Mengapa Brand Melakukan Data Washing?
Ada beberapa alasan utama:
1. Tekanan Tren “Harus Data-Driven”
Sejak ledakan big data dan AI, brand merasa wajib terlihat modern. Mengaku “berbasis data” memberi citra profesional, meski penerapannya belum matang.
2. Ketidaksiapan Infrastruktur
Banyak perusahaan belum memiliki sistem penyimpanan, pengolahan, hingga dashboard analitik yang memadai. Data tersebar di banyak platform tanpa standardisasi.
3. Minimnya SDM Analitik
Menurut laporan Harvard Business Review, kekurangan talenta data menjadi hambatan terbesar dalam transformasi digital. Tanpa analis kompeten, data hanya menjadi angka, bukan insight.
4. Kesalahan Pemahaman Data
Banyak brand menganggap “punya data” sama dengan “menggunakan data”. Padahal data-driven decision menuntut proses: pengumpulan, pembersihan, verifikasi, dan interpretasi.
Risiko Serius dari Data Washing
Data washing bukan sekadar gimmick marketing—ia membawa risiko serius:
1. Keputusan Bisnis yang Keliru
Mengambil keputusan berdasarkan data yang salah atau tidak lengkap dapat berdampak fatal: salah memilih segmen, salah menentukan budget iklan, atau salah membaca pasar.
2. Kehilangan Kepercayaan Konsumen
Dalam era keterbukaan informasi, konsumen semakin kritis. Klaim palsu bisa menimbulkan backlash seperti halnya kasus greenwashing.
3. Merusak Kredibilitas Internal
Ketika pimpinan perusahaan menyadari bahwa “data” yang dipresentasikan hanya angka permukaan, kepercayaan terhadap tim marketing dapat runtuh.
4. Membuat Transformasi Digital Gagal Total
Menurut Gartner, lebih dari 80% inisiatif data & AI gagal akibat kesalahan strategi dan implementasi yang tidak realistis. Data washing mempercepat kegagalan itu.
Bagaimana Brand Menghindari Data Washing?
Agar tidak terjebak dalam tren palsu, perusahaan perlu menerapkan langkah konkret:
1. Bangun Pondasi Data yang Nyata
Mulai dari data paling dasar: database pelanggan, riwayat transaksi, perilaku audiens, dan performa kanal pemasaran.
2. Pastikan Data Bersih & Terstandarisasi
Data yang tidak rapi akan menghasilkan insight yang salah. Proses data cleaning wajib dilakukan secara berkala.
3. Investasi pada Talenta Data
Tidak harus langsung mempekerjakan data scientist—analis junior dengan kemampuan SQL, dashboarding, dan interpretasi bisnis sudah langkah baik.
4. Gunakan KPI yang Relevan
Daripada terpaku vanity metrics, gunakan metrik nyata seperti CAC, LTV, retention, repeat order, conversion rate, dan ROAS.
5. Transparansi dalam Klaim Marketing
Brand yang benar-benar menggunakan data akan menunjukkan prosesnya, bukan hanya slogan.
Baca Juga: Bagaimana Kreator, Influencer & Affiliate Memanfaatkan Data Untuk Meningkatkan Engagement?
Kesimpulan
Data washing adalah fenomena yang semakin marak di tengah euforia digitalisasi. Brand ingin terlihat canggih dengan mengklaim diri “data-driven”, padahal faktanya belum memiliki fondasi yang memadai. Jika dibiarkan, praktik ini dapat merugikan perusahaan, merusak kepercayaan publik, dan menghambat transformasi digital.
Di era di mana kredibilitas menjadi mata uang utama, brand harus jujur terhadap kemampuannya. Lebih baik membangun sistem data secara bertahap daripada menjual klaim palsu yang pada akhirnya menjadi bumerang.
