Bisnis Media Terpuruk, PHK Mencapai 30% di 2025: Apa Solusi di Era Digital?
4 mins read

Bisnis Media Terpuruk, PHK Mencapai 30% di 2025: Apa Solusi di Era Digital?

Industri media di Indonesia tengah menghadapi tantangan berat. Dalam beberapa tahun terakhir, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal menjadi fenomena yang kian sering terjadi, bahkan menimpa perusahaan media besar sekalipun. Era disrupsi digital telah mengubah lanskap bisnis media secara drastis, baik dari sisi model pendapatan, perilaku konsumen, hingga bentuk konten yang dikonsumsi.

Menurut data dari Serikat Pekerja Media dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), ratusan pekerja media telah kehilangan pekerjaan sejak awal 2024. Hal ini terjadi karena banyak perusahaan media kesulitan menjaga stabilitas keuangan, ditambah penurunan pendapatan iklan dan tingginya biaya operasional.

Disrupsi Digital dan Model Bisnis Usang

Bisnis Media Terpuruk, PHK Meluas. (Foto: Ilustrasi)

Transformasi digital sejatinya bukan hal baru bagi media. Namun, banyak perusahaan media di Indonesia belum benar-benar beradaptasi dengan model bisnis baru berbasis data, teknologi, dan algoritma. Pendapatan iklan yang dahulu menjadi tulang punggung, kini tersedot oleh platform raksasa seperti Google dan Meta, yang menawarkan sistem iklan berbasis data jauh lebih presisi.

Dikutip dari laporan Reuters Institute Digital News Report 2024, hanya 18% pembaca berita digital di Indonesia yang bersedia membayar untuk konten berita, memperlihatkan bahwa monetisasi konten digital masih menjadi tantangan besar. Akibatnya, media yang bergantung pada iklan konvensional tanpa diversifikasi pendapatan akhirnya terdampak.

Baca Juga: Dominasi Big Tech: 4 Dampak Utama bagi Infrastruktur Digital RI

Gambaran Krisis yang Nyata

Beberapa media besar telah melakukan PHK dalam dua tahun terakhir. Seperti dilansir Tempo.co, sejumlah perusahaan bahkan telah merumahkan lebih dari 30% tenaga kerjanya karena tak mampu menutup biaya operasional yang terus meningkat. Situasi ini menciptakan keresahan bukan hanya di kalangan pekerja, tapi juga di dunia jurnalisme secara umum.

Komisi Digital (Komdigi) Dewan Pers turut angkat bicara. Dalam forum yang digelar baru-baru ini, Komdigi menegaskan perlunya akselerasi transformasi bisnis media agar tak terus-menerus terjebak dalam pola lama. Komdigi juga menekankan pentingnya upskilling jurnalis agar dapat bersaing dalam dunia konten digital yang semakin kompetitif.

Di tengah gelombang PHK ini, tidak sedikit media yang mulai bereksperimen dengan pendekatan baru. Misalnya, Kompas Gramedia mulai mengembangkan ekosistem digital melalui platform membership, podcast, dan produk konten premium. Narasi dan Asumsi memilih jalur multiplatform, dengan mengoptimalkan distribusi konten melalui YouTube, TikTok, dan Instagram. Transformasi ini juga mencakup penerapan teknologi artificial intelligence (AI) untuk mempercepat proses produksi, analisis audiens berbasis data, hingga pemanfaatan model langganan dan paywall sebagai sumber pendapatan tambahan.

Peran Pemerintah dan Kolaborasi Platform

Dewan Pers dan pemerintah juga mulai mendorong regulasi yang mendukung kelangsungan media lokal. Salah satunya melalui Publisher Rights, yakni regulasi yang bertujuan menyeimbangkan hubungan antara media dan platform digital raksasa. Ini penting, karena saat ini platform seperti Google News atau Facebook sering kali menjadi perantara utama distribusi berita tanpa kontribusi finansial signifikan ke media pembuat konten.

Namun, upaya ini harus dibarengi dengan kolaborasi lintas sektor. Media tak bisa hanya bergantung pada kebijakan pemerintah, tetapi juga perlu membangun kemitraan strategis dengan sektor teknologi, periklanan, dan komunitas pembaca untuk menciptakan model bisnis yang berkelanjutan.

Adaptasi atau Punah

Kondisi ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Fenomena serupa juga melanda media global, dari CNN yang memangkas ratusan staf hingga BuzzFeed News yang resmi ditutup pada 2023. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan industri media bersifat sistemik dan memerlukan pendekatan baru yang radikal.

Masa depan bisnis media terletak pada kemampuannya dalam membangun nilai tambah dari konten, bukan sekadar kecepatan publikasi. Jurnalisme berkualitas, pendekatan naratif yang kuat, serta personalisasi pengalaman pembaca menjadi elemen penting untuk memenangkan kepercayaan publik. Media juga harus berani berinvestasi pada data analyst, content strategist, dan teknologi AI untuk menjawab dinamika zaman.

Lebih jauh lagi, banyak pengamat meyakini bahwa kolaborasi lintas media bisa menjadi jalan keluar. Aliansi editorial, kolaborasi data, hingga sinergi distribusi bisa menekan biaya operasional dan menciptakan nilai ekonomi bersama. Dengan demikian, transformasi industri media bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal pola pikir dan keberanian mengevaluasi ulang model bisnis lama yang tak lagi relevan.

Baca Juga: BSU 2025 Jadi Rebutan, Simak Syarat dan Daftar Tidak Lolos

Kesimpulan

PHK massal di bisnis media merupakan sinyal kuat bahwa perubahan tidak bisa ditunda lagi. Dunia media harus melihat dirinya bukan lagi sebagai institusi pemberi informasi semata, tetapi sebagai entitas digital yang bersaing dalam ekosistem ekonomi perhatian (attention economy). Artinya, media harus mampu menarik, mempertahankan, dan memonetisasi perhatian publik dengan pendekatan baru, baik melalui konten berbasis nilai, pengalaman pengguna, maupun teknologi.

Transformasi bisnis bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Media yang mampu membaca tren dan berinovasi secara adaptif akan bertahan, sementara yang gagal akan tertinggal dan ditinggalkan.

One thought on “Bisnis Media Terpuruk, PHK Mencapai 30% di 2025: Apa Solusi di Era Digital?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *