Mengoptimalkan Biaya Iklan dengan Data Attribution dan ROAS Analysis
Di dunia bisnis digital yang semakin kompetitif, efisiensi biaya iklan menjadi kunci untuk bertahan dan berkembang. Setiap klik, impresi, hingga konversi kini bukan sekadar angka di dashboard, melainkan data penting yang menentukan arah strategi. Dua konsep utama yang membantu marketer mengambil keputusan berbasis data adalah data attribution dan analisis ROAS (Return on Ad Spend).
Secara sederhana, ROAS adalah ukuran efektivitas kampanye iklan. Menurut CMLABS Indonesia (2024), ROAS dihitung dengan membagi pendapatan dari kampanye iklan dengan biaya yang dikeluarkan. Jika hasilnya lebih besar dari satu, artinya kampanye menghasilkan keuntungan. Namun, angka ini bisa menyesatkan jika tidak dibaca dengan konteks yang benar.
Peran Data Attribution dalam Mengukur Efektivitas Kampanye

Menurut riset ResearchGate (2023), attribution marketing adalah proses menentukan kontribusi setiap kanal terhadap keputusan pembelian. Misalnya, pengguna melihat iklan di Instagram, mencari di Google, dan akhirnya membeli di marketplace. Jika hanya memakai model last-click attribution, kontribusi Instagram diabaikan.
Pendekatan modern seperti multi-touch attribution (MTA) dan data-driven attribution lebih akurat karena menghitung pengaruh setiap kanal berdasarkan data historis dan perilaku pengguna (AAAI Journal, 2022).
Baca Juga: Apa Itu Data as a Service? Ini Manfaat dan Cara Kerjanya
Integrasi Attribution dan ROAS untuk Optimasi Anggaran
Dengan menggabungkan hasil attribution dan analisis ROAS, marketer bisa tahu kanal mana yang paling efisien. Riset Graas.ai (2024) menunjukkan bisnis yang memantau ROAS lintas kanal mampu menekan pemborosan biaya iklan hingga 25% hanya dalam tiga bulan. Namun, penggabungan keduanya tidak sekadar menghitung angka. Inti utamanya adalah mengubah data menjadi dasar pengambilan keputusan yang dinamis dan terukur.
Untuk memaksimalkan hasilnya, integrasi ini sebaiknya dilakukan dalam satu dashboard analitik terpadu yang menampilkan kontribusi tiap kanal terhadap penjualan secara real time. Dengan sistem seperti ini, tim marketing dapat melihat perubahan performa kampanye per hari, menyesuaikan anggaran secara cepat, dan melakukan eksperimen A/B tanpa menunggu laporan bulanan. Pendekatan ini dikenal sebagai adaptive budgeting, di mana keputusan anggaran berubah mengikuti performa aktual bukan berdasarkan prediksi atau intuisi semata.
Selain itu, penerapan data-driven attribution model yang selaras dengan penghitungan ROAS juga membantu bisnis menilai incremental impact dari setiap kanal. Misalnya, apakah peningkatan belanja di TikTok Ads benar-benar menambah total penjualan, atau hanya memindahkan pembeli dari kanal lain seperti Instagram? Menurut AAAI Journal (2022), menggabungkan data attribution dan ROAS dapat mengungkap “kanal pendukung” yang sering diabaikan, seperti email retargeting atau display ads, yang ternyata memiliki peran penting dalam mendorong konversi akhir.
Dalam praktik terbaiknya, integrasi attribution ROAS bukan hanya pekerjaan teknis, melainkan bagian dari strategi reallocasi anggaran berbasis bukti. Marketer perlu rutin melakukan cross-channel audit untuk memastikan setiap rupiah iklan dikeluarkan di tempat yang memberi kontribusi nyata terhadap revenue. Dengan begitu, bisnis tidak hanya menghemat biaya, tetapi juga mempercepat pertumbuhan karena setiap keputusan investasi iklan memiliki dasar data yang jelas.
Tantangan dan Rekomendasi untuk Bisnis Digital
Meski manfaat data attribution dan analisis ROAS sangat besar, penerapannya di lapangan sering menghadapi tantangan teknis maupun strategis. Salah satu hambatan utama adalah fragmentasi data antarplatform. Banyak bisnis masih bekerja dalam “data silo” di mana data iklan dari Google, Meta, TikTok, dan marketplace disimpan terpisah. Akibatnya, performa kampanye tidak bisa dilihat secara utuh. Kondisi ini menyebabkan keputusan alokasi anggaran sering didasarkan pada asumsi, bukan bukti konkret.
Selain itu, isu privasi dan regulasi pelacakan pengguna juga menjadi penghalang baru. Pembatasan cookie pihak ketiga oleh browser dan meningkatnya kesadaran konsumen terhadap privasi data membuat pelacakan lintas kanal semakin sulit. Hal ini berdampak langsung pada akurasi model attribution. Karena itu, bisnis perlu berinvestasi dalam solusi first-party data dan data warehouse terintegrasi untuk memastikan pengumpulan data tetap sah dan komprehensif.
Dari sisi strategi, banyak perusahaan masih berfokus pada metrik jangka pendek seperti klik atau impresi, padahal indikator tersebut tidak selalu mencerminkan profitabilitas. Di sinilah pentingnya membangun budaya data-driven di seluruh level organisasi bukan hanya tim marketing. Setiap divisi, mulai dari keuangan hingga operasional, perlu memahami interpretasi angka seperti ROAS, LTV, dan cost-per-acquisition agar keputusan lebih sinkron. Menurut laporan DIVA Portal Sweden (2024), perusahaan yang mengadopsi pendekatan lintas fungsi berbasis data mencatat efisiensi biaya iklan hingga 30% lebih baik dibanding perusahaan yang masih menggunakan analisis parsial.
Baca Juga: Penggunaan API & Dashboard Analitik di E-Commerce Naik 40% di 2025
Kesimpulan
Mengoptimalkan biaya iklan bukan sekadar tentang memangkas pengeluaran, melainkan tentang memastikan setiap rupiah bekerja untuk menghasilkan nilai nyata bagi bisnis. Data attribution dan analisis ROAS menjadi fondasi dalam membangun strategi pemasaran yang efisien, transparan, dan terukur. Dengan memahami peran masing-masing kanal dalam perjalanan pelanggan, bisnis dapat menyalurkan anggaran ke arah yang memberikan dampak terbesar.
Namun, data hanya akan bermakna jika diinterpretasikan dengan benar dan dihubungkan dengan konteks bisnis. Angka tinggi di dashboard tidak selalu mencerminkan keuntungan, dan hasil yang kecil belum tentu berarti kegagalan. Inilah mengapa perusahaan perlu membangun data culture budaya di mana setiap keputusan diambil dengan dasar insight, bukan intuisi semata.
